Sirius 5. Kamu dan Kebohongan

 5.      Kamu dan Kebohongan

                                 

                                                                                              Tulisan Felisa


Tidak ada yang benar-benar jujur di muka bumi ini, kecuali kekecewaan yang nyata, meski sering kali kita berbohong bahwa semuanya baik-baik saja, tapi kecewa selalu punya cara untuk mencuri celah menjadi sedih.

 

Waktu berjaan begitu cepat tanpa dapat diberhentikan sedetikpun, tidak terasa sekarang Clarissa sudah kelas 2 SMA dan Galen sudah kelas 3 SMA. Semesta memang berjalan lebih cepat atau kita yang berjalan sangat lambat. Banyak hal yang silih berganti, banyak hal yang berubah mengikuti keadaan, namun banyak juga yang masih sama, masih pada kebiasaan yang sama atau mungkin masih pada rasa yang sama.

            Hari ini seperti biasanya aku pulang ketika sekolah sudah mulai sepi, aku dan Tiya melewati ruang kesenian untuk menuju parkiran. Ruang yang membuat ku tenang mendengar alunan melody dari setiap petika pianonya, salah satu alasan ku memilih untuk lewat jalan ini. Seperti biasa aku akan berhenti menatapnya bermain piano dari jauh, iya dari jauh karena banyak hal yang lebih baik dilakukan secara diam-diam. Kali ini ada yang berbeda dengan suara piano tersebut aku ada suara anak perempuan yang ikut bernyanyi disana, membuat ku mempercepat langkah karena aku penasaran.

            Didalam gedung teater ku lihat kak Galen bersama dengan Nindy, Nindy teman sekelas ku meski kita tidak terlalu akrab tapi aku cukup tau banyak tentang Nindy. Aku mempercepat langkah ku meninggalkan gedung kesenian, daripada aku kesal sendiri menatap mereka berdua dari jauh nantinya.

“Ada hubungan apa Kak Galen sama Nindy?”

“Aku tidak tahu Ti”

“Orang seperti Kak Galensusah sekali untuk ditebak Sa”

“Mungkin kacamata ku saja yang terlalu berlebihan memandangnya”

Kenapa aku harus kesal melihat dia bersama dengan yang lainnya, padahal dia dekat dengan siapapun itu hak dia. Mungkin benar kata orang penyebab kecewa terbesar adalah karena harapan kita sendiri.

****

Setelah melihat Kak Galen bersama dengan Nindy kemarin hari ini aku mulai ingin berhenti untuk berharap, berhenti untuk selalu ingin tahu tentangnya. Tidak ingin menunggunya lagi ketika dia melewati gerbang sekolah ketika berangkat, tidak ingin lagi melihatnya dari jauh bermain piano di gedung kesenian, tidak ingin lagi berdiri dengan pandangan kagum ketika dia menjadi pemimpin upacara.

 Menyalurkan kesal dengan hal positif adalah salah satu pelarian diri terbaik, menghabiskan waktu diperpustakaan lebih baik daripada harus memikirkan Kak Galen. Masih setengah jam lagi bel akan berbunyi, perpustakaan masih sangat sepi, tapi aku lebih suka begini karena menurut ku membaca ditengah suasana hening, akan membuat kita berimajinasi jauh lebih baik. Aku mengambil buku Ekslopedia Sains, lalu memilih untuk duduk dibangku dekat dengan penjaga perpustakaan.

“Mbak rajin sekali masih pagi begini sudah diperpustakaan” Kata mbak penjaga Perpus yang sudah akrab dengan ku karena sering meminjam buku.

“Binggung mbak mau ngapain sepagi ini”

“Biasanya juga ada mas-mas yang rajin kesini, lima belas menit sebelum masuk pasti dia meminjam buku”

“Masih ada ya ternyata anak laki-laki jaman sekarang yang suka membaca buku”

“Mbak harus kenalan dengan dia, siapa tau dia punya rekomendasi buku-buku yang bagus-bagus”

“Hahaha iya mbak”

Sudah lima belas menit aku di sini mungkin sebentar lagi aku harus kembali ke kelas.

“Clarissa”

“Iya”

“Tumben pagi-pagi sudah di perpus”

“Ini juga mau masuk kelas”

“Masih lima belas menit, lebih baik pinjam buku dulu nanti bisa lanjut baca lagi”

“Kakak ngapain disini?”

 “Ini mau pinjam buku”

Mungkinkah kak Galen ini mas-mas yang dimaksut Mbak penjaga perpus tadi.

“Kamu suka membaca Sa” Tanyanya ketika aku dan dia memilih untuk kembali ke kelas, setelah meminjam buku.

“Iya kak”

 “Ternyata masih ada juga cewek yang suka membaca ya”

“Kakak suka membaca?”

“Iya sejak kecil aku sudah suka membaca”

“Ternyata masih ada juga cowok yang suka membaca ya”

“Tidak baik mencuri kalimat orang lain”

Mungkin berpura-pura akan selalu menjadi jalan keluar, untuk menjadikan keadaan terlihat selalu baik-baik saja.

“Kayaknya ada yang deket sama teman sekelas ku nih? Kenapa tidak pernah cerita-cerita ya”

“Siapa?”

“Masih pura-pura tidak tahu”

“Aku tidak paham maksutmu Clarisaa”

“Nindy, kakak deket kan sama dia”

“Tidak”

***

Hampir selesai aku membaca satu buku, namun pikiran ku tidak seirama dengan apa yang aku baca, menjadi beban pikiran ternyata memiliki perasaan ke orang lain. Selalu ingin mencari kebenaran tentang apa yang sebenarnya terjadi, lalu dibuat pusing dengan teka-teki yang diciptakan sendiri.

“Sa Kak Galen sama Nindy pacaran?”

“Aku tidak tahu Ti, tapi aku tadi pagi aku bertemu dengan kak Galen, aku sempat bertanya soal kedekatan mereka, tapi kak Galen bilang kalau mereka tidak dekat”

“Tapi Sa tadi aku mendengar anak-anak kelas bilang, kalau Nindy habis jadian sama kakak kelas gitu”

“Udahlah Ti aku sudah mundur, kalau kak Galen bahagia bersama Nindy aku bisa berbuat apa”

“Masak kak Galen sukanya sama anak kayak gitu, cewek centil”

“Perasaan suka itu tidak bisa dipaksa atau dihentikan. Sehebat apapun aku berusaha dekat dengan dia kalau dia memilih lebih suka dengan yang lainnya itu hak dia Ti. Karena suka juga memiliki hak, hak untuk memilih rasa nyamannya”

“Tapi aku lebih suka kak Galen bersama dengan kamu Sa”

“Udahlah”

***

Berusaha tidak perduli dengannya adalah pekerjaan yang berat, harus merubah banyak hal-hal kecil yang sering kita lakukan untuk dapat melihatnya dari jauh. Berusaha untuk tidak ingin tahu segala hal tentang dia lagi.

Sudah satu minggu aku berusaha untuk tidak mencari tahu tentang kabarnya setiap hari, ternyata selama satu minggu ini juga aku gagal, aku masih suka melihat-lihat semua postingannya di akun media sosialnya. Runtuh sudah pertahanan ku pada foto postingan Nindy yang menandai Galen. Dengan caption yang mengatakan bahwa mereka sudah jadian.

Sesak sekali rasanya, mungkin sesaknya bukan karena melihat dia bahagia bersama orang lain tapi karena kebohongannya. Kesal, kecewa, sedih, berantakan semuanyan menjadi satu, aku memilih menghubunggi Tiya, mungkin bercerita dengannya akan membuat ku sedikit lebih baik.

“Ada apa Sa?”  Suara Tiya di ujung seberang telfon sana.

“Ternyata benar Ti, kak Galen dan Nindy”

“Kamu serius?”

“Iya”

“Tunggu aku pamit dengan mama untuk menginap dirumah mu, habis ini aku langsung kerumah mu. Tunggu ya, jangan nangis”

Karena jarak rumah ku dan Tiya yang tidak terlalu jauh, lima belas menit Tiya sudah sampai dirumah ku. Ibuku sudah menganggap Tiya seperti anak keduanya, karena saking dekatnya aku dan Tiya.

“Sa”

“Aku tidak tahu Ti, aku tidak tahu dengan perasaan ku sendiri”

“Kamu menyukainya Sa, kamu hanya tidak berani mengakuinya”

Apakah suka perlu sebuah ungkapan, perlu sebuah pembuktian dengan perkataan, tidak bisakah manusia dapat mengetahui dengan mata. Tanpa rangkaian bahasa yang membuat kalimat-kalimat semakin rumit, kata-kata yang membuat semua cerita menjadi kebingungan arah.  Seharusnya bahasa mata adalah kalimat yang paling jujur, bahkan untuk mengenal kata bohong pun bahasa mata tidak bisa.

Tiya memang sahabat terbaik ku, dia mau menemani ku berduka malam itu. Menceritakan semua sesal yang ada pada dada ku padanya, berandai-andai dan menerka apa yang akan terjadi selanjutnya, apakah aku akan segera melupakan dia atau justru aku akan terjebak pada bait-bait puisi ku yang bercerita tentangnya, atau pada kalimat-kalimat untuk menceritakan tentangnya, namun tak kunjung bertemu pada kata usai.

****

Pagi ini Ibu menatap ku dengan heran, dengan mata sembab, mungkin ibu menyimpan seribu kalimat tanya namun tak kunjung ditanyakan pada ku, Ibu malah tersenyum dapan mencium puncak kepala ku. Tiya yang mungkin juga tahu bahwa Ibu sebenarnya ingin bertanya banyak hal apa yang terjadi pada ku, karena Tiya tahu bahwa aku tidak pernah bercerita masalah apapun yang aku alami pada Ibu. Karena bagi ku Ibu adalah kamus bahasa kasih sayang yang nyata, Ibu akan tahu segalanya tanpa kita bercerita, matanya adalah penerjemah terbaik.

 “Siapa yang membuat anak ibu menangis seperti ini?” Tanya Ibu pada Tiya, sambil menuangkan susu pada mangkok sereal, untuk sarapan.

“Kakak kelas bu”

“Dia tahu?”

“Tidak Bu”

“Anak Ibu sudah dewasa ternyata”

Apa maksut ibu? Apakah menurut ibu ketika anaknya sudah berani suka pada seseorang itu artinya dia sudah dewasa, apakah tingkat kedewasaan diukur dengan perasaan berani suka pada seseorang.

Aku tidak mengerti apa yang Ibu maksut, namun Ibu pasti paham benar apa yang kurasakan sekarang. Karena Ibu tahu bahwa aku tidak mudah untuk menyukai seseorang, dia adalah laki-laki pertama yang berani masuk pada bait-bait aksara ku, berani membuat.

Dengan mengoles selai coklat pada roti didepannya ibu bilang “Anak Ibu sudah dewasa, sudah pandai menata perasannya sendiri. Karena tidak semua perasaan harus ada balasan, karena letak perasaan yang paling tingi tingkatannya adalah pemberian tanpa balasan”

Ibu tahu bahwa mencintai bulan itu tidak harus memilikinya, tidak adil rasanya kalau kita mengambilnya dan menyimpannya didalam toples kamar, agar dapat kita lihat cahayanya ketika malam pada setiap harinya. Bukankah dia juga berhak untuk menerangi setiap orang.

Ibu tidak pernah mengizinkan ku mengenal rasa suka pada lawan jenis sebelumnya. Aku anak tunggal, harapan dan impian Ibu pada ku. Ibu sangat ingin aku menjadi seorang dokter, katanya kalau aku jadi dokter, aku bisa menolong hidup banyak orang.

Ibu selalu menuntut ku menjadi yang terbaik disekolah, harus juara satu katanya, harus paling hebat katanya, harus dapat meraih mimpi katanya, harus menjadi dokter katanya. Padahal ibu tidak pernah tahu yang sebenarnya terjadi, gagal kata ku, lelah kata ku, ingin menyerah kata ku, pasrah dengan takdir kata ku, Ibu tidak pernah setuju dengan itu. Aku harus mampu yang beliau inginkan. Harus, seolah menjadi kata sakral yang membuat mata, kepala dan pundak ku berat.

“Kamu harus ingat janji mu dengan Ibu Sa, kamu harus jadi dokter”. Lagi-lagi kata harus, dan kalimat yang sudah aku hafal di luar kepala itu diucapkan lagi oleh Ibu. Seolah aku sedang dijalan yang lupa dengan tujuan yang akan aku tuju, tidak mungkin aku lupa. Bagaimana bisa lupa kalau kata itu selalu ada di dalam kepala ku selama sepuluh tahun.

Nanti kalau sempat akan aku ceritakan kenapa Ibu sangat ingin aku menjadi seorang dokter, tidak hanya banyak orang sakit nanti yang dapat aku sembuhkan. Namun duka Ibu, duka yang paling membekas di hatinya.

“Iya Bu aku tidak pernah lupa dengan janji ku” Janji untuk mengobati luka Ibu. Namun tolong bu, aku manusia biasa dapat jatuh cinta. Perasaan suka ini tidak dapat dihentikan Bu, seperti angin dia berhembus dengan sendirinya.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pada Aksara Atau Angka

Kita sedang hidup di dunia siapa tuan?

Mesin Ketik