Aku, kamu dan kepergian
Aku, kamu dan kepergian Kata penyair tua cinta itu buta tuan, namun dalam mata mu justru aku menemukan pelangi, bukan hitam, dan bukan abu-abu. Bewarna tuan, biru, merah, hijau, kuning, perak dan jingga yang berputar-putar dalam agan ku setelah hujan deras pagi tadi. Aliran airnya mengalir menjadi getaran hebat, kata penyair tua cinta namanya. Aku ini hanya pengembala tuan, memelihara luka yang masih bernanah, sesekali mengiring anak-anak perasaan ku untuk memakan kenyataan di padang ilalang, mereka mengeleng-gelengkan kepala, pahit katanya, pahit rasanya. Lagi-lagi ku giring mereka minum di telaga harapan, kata mereka hambar dan hampa rasanya. Aku ini hanya pejalan kaki tuan, pejalan kaki yang tidak melangkah, bukan, bukan karena kaki ku berdarah. Bagaimana aku bisa melangkah? Bagaimana? Kalau alamat mu dikertas buram ini sudah luntur karena air mata, kemana? kemana aku harus melangkah? Bahkan peta di layar ponsel ku yang cinggih pun tidak menemukan alamat mu, kamu dimana? Masih di b