Aku, kamu dan kepergian

Aku, kamu dan kepergian



Kata penyair tua cinta itu buta tuan, namun dalam mata mu justru aku menemukan pelangi, bukan hitam, dan bukan abu-abu. Bewarna tuan, biru, merah, hijau, kuning, perak dan jingga yang berputar-putar dalam agan ku setelah hujan deras pagi tadi. Aliran airnya mengalir menjadi getaran hebat, kata penyair tua cinta namanya.

 Aku ini hanya pengembala tuan, memelihara luka yang masih bernanah, sesekali mengiring anak-anak perasaan ku untuk memakan kenyataan di padang ilalang, mereka mengeleng-gelengkan kepala, pahit katanya, pahit rasanya. Lagi-lagi ku giring mereka minum di telaga harapan, kata mereka hambar dan hampa rasanya.

Aku ini hanya pejalan kaki tuan, pejalan kaki yang tidak melangkah, bukan, bukan karena kaki ku berdarah. Bagaimana aku bisa melangkah? Bagaimana? Kalau alamat mu dikertas buram ini sudah luntur karena air mata, kemana? kemana aku harus melangkah? Bahkan peta di layar ponsel ku yang cinggih pun tidak menemukan alamat mu, kamu dimana? Masih di bumi atau sudah berpijak ke saturnus?

Iya saturnus tuan, masih ingatkah kamu malam itu, dibangku taman, saat dunia sedang berburuk hati pada ku. Kamu memesan dua tiket pulang dan pergi, sepasang dengan ku, kita sepakat pada malam itu, untuk lari bersama, untuk meninggalkan bumi, untuk meninggalkan jarak-jarak di antara kita. Namun sekarang kita yang berjarak, kamu yang pergi tuan, bukan pergi bersama ku namun pergi meninggalkan ku.

Bangku taman ini rindu, rindu dengan mu, rindu dengan aku dan kamu, dan aku yang merindukan mu

Jarak ini membelenggu tuan, perkara waktu kapan kamu akan datang, detik demi detik di arloji tangan ku memunggut hari menyulapnya menjadi abad, sampai arloji ku memuntahkan kesalnya karena kau tak kunjung datang, membiarkan jarak membunuh kita.

Aku mematung di atap gedung tua tempat kita bercerita, menunggu kedatangan mu hingga aku tenggelam bersama senja, terbit lagi bersama fajar lalu tenggelam lagi sore hari, larut sudah kesal ku menunggu kedatangan mu. 

Mengulang-ulang lagu amin serius yang akan kita dengarkan bersama, masih ingatkah kamu tuan liriknya? Aku akan mengingatkannya kalau kamu lupa tuan Tuk petualangan ini, Mari kita ketuk pintu yang sama, aku masih disini menunggu kedatangan mu mengajak ku mengetuk pintu itu. Pintu yang kita sulam bersama dengan kunci bernama kasih sayang.

Hingga malam itu burung gagak menghampiri ku, membisikan kata yang membuat ku pilu, membuat sesak dadaku, bulir-bulir hujan dari awan hitam mengalir membasahi pipi ku, burung gagak menemani ku di cengkram oleh kenyataan. Berita tentang ke pulangan mu, justru aku yang mati.

Burung gagak berputar-putar lama di depan ku, mengangguk-angukkan kepalanya, berputar-putar lagi mengelilingi ku berdiri tepat didepan ku dengan paruh yang mengecup hangat pipi basah ku.

Penantian ku terjawab sudah malam itu tuan, burung gagak itu adalah sukma mu yang melebur bersama alam raya, teka-teki dari kalimat-kalimat tanya ku tentang dimana alamat mu dan Kapan kamu datang? Sudah terjawab dengan sempurna.

Burung gagak itu terbang ke arah datangnya cahaya rembulan dan tak mengenal kata kembali, ya jawabannya kamu tak akan pernah datang menemui ku lagi bukan? Kita tidak akan pernah lagi duduk dibangku taman bersama, membuat pintu yang kita sulam dengan rajutan kasih sayang itu tetap akan terkunci selamaya.

Maut, jawabannya

Maut, yang membuat pahit dan hampa rasanya

Maut, yang selama ini mempermainkan waktu dan jarak diantara kita

Betapa teganya semesta menciptakan maut, memisahkan dua orang yang saling melukis cinta. Memisahkan jiwa dari raganya, memisahkan detak dari jantungnya, memisahkan aku dan kamu yang seharusnya sudah menjadi kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pada Aksara Atau Angka

Kita sedang hidup di dunia siapa tuan?

Mesin Ketik