Sirius 3. Bali 1
3. Bali 1
Pulau ini akan
aku kenang sebagai pulau yang dingin seperti dirimu, dan pada senja pertama
kali yang ku tatap bersama mu. Aku ingin mengulanginya lagi setiap hari.
Mengikuti
organisasi sebanyak ini, ternyata membuat hari-hari ku di tuntut untuk berlari
lebih cepat daripada yang lainnya, membagi waktu dengan kegiatan-kegiatan yang
menguras banyak sekali waktu ku, sudah satu bulan aku beradaptasi dengan banyak
orang-orang yang baru.
***
Untuk membuat anggota
OSIS baru lebih akrab dengan anggota yang lama, maka setiap tahun akan diadakan
malam pengenalan, kegiatan di luar sekolah agar membuat semua anggota lebih
akrab dengan kakak kelasnya, sekaligus pemantapan pembahasan program kerja yang
akan kami lakukan pada satu tahun kedepan.
Perjalanan
ke Bali saja sudah membuat semua anggota semakin akrab, bagaimana bisa sejak
bus ini mengelindingkan roda pertamanya suasana dalam bus sudah sangat ramai,
bahkan sejak memilih tempat duduk, berhubung aku yang datang paling akhir aku
tidak bisa duduk disamping teman-teman ku. Bagaimana ini kursinya sudah
habis, tidak mungkinkan aku akan berdiri sepanjang perjalanan.
“Sa kenapa
masih berdiri, sebentar lagi bus nya sudah mau jalan” Tanya Kak Rangga ketika
aku masih saja berdiri, namun ketika melihat semua kursi sudah penuh Kak Rangga
juga ikut bingung mencarikan ku tempat untuk duduk. Terdapat satu kursi yang
belum penuh namun dari belakang terlihat ada lelaki yang sudah mendudukinya
sendirian.
“Sudak habis kursinya kak”
“Duduk disana
aja Sa sama Kakak” Tawar kak Rangg sambil menunjuk kursi yang diduduki lelaki
itu sendirian.
“Tapi ada yang menduduki kak, apalagi dia laki-laki”
“Gapapa nanti kakak yang berada di tengah, kamu disamping kakak”
“Tapi kak”
“Apa kamu mau berdiri sepanjang perjalanan?”
“Tidak kak, yaudah aku ikut kakak saja”
Daripada
aku berdiri sepanjang perjalanan lebih baik aku ikut duduk bersama Kak Rangga,
Kak Rangga orangnya baik ternyata care sama adek kelasnya, bahkan
meskipun dia adalah ketua OSIS dia tidak pernah menyombongkan pangkatnya, ini
yang membuat aku semakin akrab dengan kak Rangga meski baru satu bulan kenal.
“Duduk
Sa” Perintah kak Rangga ketika aku hanya berdiri menatap laki-laki yang sudah
menduduki kursi ini sejak awal. Lelaki yang selalu membuat ku penasaran aku
jarang sekali melihatnya berbicara dengan teman-temannya, aku lebih sering
melihatnya duduk sendirian dengan handphone ditangannya dan earphone
yang disambungkan ke telinganya.
“Iya
kak” Jawab ku sambil duduk di sebelah kak Rangga, dia menoleh ketika aku akan
duduk disamping kak Rangga. Akupun ikut menatapnya, mata yang tidak bisa ditebak,
mata yang tidak bisa dibaca.
***
Perjalanan
menuju pulau Bali mengharuskan kita untuk menyebrang menggunakan kapal menuju
pelabuhan Gilimanuk, Denpasar. Hari semakin larut, kapal yang kami naiki
semakin medekati tempat tujuannya, Bali.
Angin
laut ternyata sangat dingin ketika malam hari, dengan ombak laut yang tenang
dan angin yang berhembus dengan lembut, di atas kapal aku menatap langit yang
sangat luas ini, dengan berharap dapat melihat bintang jatuh pada malam ini.
“Ternyata
kamu memang suka menatap langit” Suara yang sudah tidak asing lagi dengan ku,
tiba-tiba ikut duduk disamping ku sambil mendongakkan kepalanya menatap langit.
“Karena penduduk langit tidak ada yang egois”
“Kamu ingin lari dari bumi?” Tanyanya sambil menatap ke arah ku
“Tidak, hanya ingin lari dari penduduk bumi”
“Penduduk bumi baik”
“Karena aku yang jahat kak”
“Aku juga bukan orang yang baik Clarissa”
“Kenapa kakak jarang berinteraksi dengan orang lain, bahkan lebih
sering aku lihat kakak selalu sendiri?”
“Karena aku tidak ingin”
“Kenapa sekarang mau berinteraksi dengan ku?” Ku ajukan pertanyaan
yang memenuhi isi kepala ku sejak lama ini
“Karena aku ingin”
“Kenapa ingin?”
“Karena tidak semua pertanyaan ada jawabannya”
Malam
itu kuhabiskan dengan menatap langit yang bertabur dengan bintang dan bulan
yang menerangi, bersama angin yang berhembus menyejukkan sekaligus membuat
suasana menjadi dingin, atau mungkin lebih tepatnya dingin.
Aku
dan dia tidak ada yang memulai lagi membicaraan pada malam itu, hening, sibuk
dengan pikirannya masing-masing, aku yang penasaran dengan sikapnya yang
dingin, dan entanh apa yang ada dipikrannya pada malam itu.
****
Bali yang masih
memegang teguh adat dan budaya, aku suka dengan pulau yang indah ini, aku suka
dengan keramahan orang-orangnya. Perjalanan menuju hotel yang kami pesan tidak
terlalu jauh, aku sudah sangat lelah sekali di atas angkutan umum ini, ingin
segera mandi dan bertemu dengan kasur.
Hotel
yang kami pesan sangat nyaman terdapat taman yang indah didepannya, aku, Tiya dan
teman-teman ku yang lain memilih aku tidur di kamar yang sama, mungkin bukan
tidur nanti malam yang terjadi malah keributan yang kami ciptakan. Aku dan
teman-teman ku bukan anak-anak yang baik dan pendiam, kami ini sangat rusuh
bahkan hal-hal kecil yang terjadi selalu menjadi bahan tertawa.
Hari
ini agendanya adalah pembuatan program kerja yang baru, mempresentasikan dan
membahas mengenai kegiatan, yang akan kita lakukan selama satu tahun mendatang.
Detik demi detik berputar, semua program kerja sudah selesai dibahas.
“Sehabis ini
agenda kita akan ke Pantai Kute sebagai refresing karena kita sudah
bekerja keras seharian ini, kita akan berangkat jam dua. Tolong semua harus
sudah standbye jam dua. Terimakasih” Pemberitahuan dari kak Rangga
membuat mata kami yang sudah sayu kembali berbinar-binar.
“Ayok-ayok kita siap-siap aku gak sabar ingin jalan-jalan” Kata
Caca salah satu dari sembilan teman ku.
“Andai punya pacar pasti lebih seru, tidak berjalan bersama kalian
aku” Sambung Yulia
“Kamu ini kerjaanya menghayal terus udah ayok kita siap-siap” Kata
ku pada Yulia sambil mengajak teman-teman untuk bersiap.
Pantai
Kute Bali sangat indah, kenapa Laut selalu diciptakan sedemikian indahnya, apa
mungkin Tuhan sengaja menciptakan hal seindah ini hanya bisa dimiliki oleh
semesta, tidak mengizinkan kita untuk dapat membawanya pulang. Menyimpannya
didalam kamar agar kita dapat melihatnya kapanpun kita mau.
Tuhan
dengan segala apa yang diciptakan akan selalu menjadi teka-teki, hingga suatu
saat semua akan dijawab oleh waktu, hanya waktu pemberi jawaban terbaik dari
setiap pertanyaan yang selalu kita tanyakan setiap harinya, pertanyaan yang
akan membuat isi kepala penuh dengan tanda tanya, kenapa? Kata tanya
yang paling susah jawabannya karena jawaban terkandung dalam permasalahan itu
sendiri.
Hari
sudah beranjak malam, ketika mentari sudah pulang ke peraduan malam, sungguh
indah ciptaan Tuhan. Dibibir Pantai Kute, aku lihat dirinya yang juga menatap
langit sore dikala itu kenapa tatapan ku selalu jatuh padanya. Aku hanya berani
menatapnya dari jauh sejauh langit yang menenggelamkan senja di ujung lautan.
Lelaki dengan kesendiriannya dan segala hal yang membuat ku selalu berani
menatapnya dari kejauhan.
***
Hari
kedua di Bali, agenda hari kedua adalah penyelesaian misi kelompok, setiap
devisi akan menyelesaikan misi-misi yang ada pada setiap pos, katanya kegiatan
ini untuk membuat Tim semakin mampu bekerja sama. Dan sialnya aku dan dia satu
divisi, sehingga mengharuskan kita untuk menjadi satu tim.
Tanah
Lot, adalah tempat yang dipilih untuk menyelesaikan misi ini setiap kelompok
akan diberi teka-teki dimana saja persebaran amplop yang berisi
potongan-potongan puzzel, ya tugas kita adalah harus menemukan setiap potongan
puzzel dan merangkainya hal ini membutuhkan kekompokan dari setiap anggota
untuk menemukan setiap potongan dari puzzel.
Menurut ku
hidup juga seperti puzzel seperti, potogan perjalanan hidup bagaimana nanti
kita dapat dikenang oleh orang lain. Bagaimana sejarah kita akan selalu
diceritakan oleh orang lain, mengambil hal-hal terbaik yang pernah kita lakukan
selama perjalanan di muka bumi ini.
****
Hari ke tiga di
Bali, hari terakhir di tanah dengan adat yang masih dipegang teguh ini. Sebelum
memutuskan untuk kembali ke Bandung, kami mengunjungi pasar-pasar di Bali dan
membeli beberapa oleh-oleh untuk dibuat kenang-kenangan selama kita di Bali.
Aku tidak
berniat membeli apapun, teman-teman ku sudah sibuk dengan tas belanjaan mereka
dan sibuk tawar menawar dengan para penjual. Aku berjalan menuju tempat penjual
pernak-pernik kerajinan tangan, karya-karya penduduk lokal untuk menambah
peluang lapangan kerja di Indonesia. Mata ku tertuju pada dream catcher warna
kuning yang di gantung dengan pernak-pernik yang lainnya.
“Pak beli dream catcher yang warna kuning” Aku putuskan
untuk membeli dream catcher, entah kenapa aku ingin membelinya.
“Yang ini mbak?”
“Iya pak, berapa?”
“Dua puluh lima ribu aja mbak”
“Mau minta mimpi yang indah ya mbak?” pertanyaan bapaknya sambil
mengambil dream catcher
Yang ada digantungan.
“Saya tidak percaya dengan begituan Pak”
“Hahaha iya mana ada anak zaman sekarang percaya dengan hal
beginian”
“Saya suka saja Pak, buat pajangan di kamar”
“Yaudah, bapak doa kan saja semoga setelah membeli ini mimpi mbak
selalu yang baik-baik saja”
“Aamiin, Saya
duluan pak” Pamit ku, sambil menyerahkan beberapa lembar uang dan mengambil dream
catcher yang telah di bukus oleh bapaknya. Aku putuskan untuk kembali ke
dalam bus terlebih dahulu, dari pada binggung di dalam pasar sendirian.
Ketika
sampai di dalam bus ternyata ada yang sudah disana, emangnya dia tidak turun
apa, ah manusia seperti dia mana tertarik dengan hal-hal yang membuat bising
telinga. Aku melangkah menuju tempat duduk ku, sialnya aku lupa ternyata
tempat duduk ku sama dengan tepat duduknya.
Namun
aku tetap memilih untuk duduk didalam bus daripada harus berada di dalam pasar
yang ramai lagi. Lelaki itu memejamkan matanya sambil mendengarkan earphone
yang terpasang di telinganya. Mungkin dia sadar kalau ada yang duduk di
sebelahnya, sehingga dia menatap ku yang baru saja duduk.
“Tidak ke pasar?” Tanyanya
“Tidak”
“Ramai?”
“Iya”
“Oh”
“Kakak tidak ke pasar juga?” Tanya ku padanya
“Ingin mendengarkan musik” Alasan macam apa, bisa kan mendengarkan musik
sambil berjalan ke pasar.
“Beli apa?”
“Dream catcher”
“Percaya dengan begituan?”
“Tidak”
“Lalu?”
“Hanya suka warna kuning saja”
“Lambang persahabatan”
Entah
aku tidak ingin melanjutkan lagi percakapan dengannya, hening dengan kesibukan
masing-masing, dia yang sibuk mendengarkan musik dan aku yang sibuk menebak
segala hal tentangnya, kenapa aku semakin penasaran dengannya, semakin ingin
mengenalnya jauh lebih dalam ini. Perasaan aneh ketika aku melihat dia, ah
lupakan mungkin hanya karena dia aneh oleh sebab itu aku semakin penasaran
dengannya.
Bus
mulai penuh dengan teman-teman yang mulai kembali dari pasar, mulai berisik
dengan saling menceritakan apa yang mereka beli atau kejadian-kejadian lucu apa
yang terjadi selama di pasar. Aku mulai memejamkan mata ku agar suara bising
mereka tidak terdengar, dan berharap dapat terlelap lebih cepat sebelum bus
berjalan.
“Berisik?” Tanya nya ketika melihat aku mulai tidak nyaman dengan
keramaian
“Iya”
“Ini” Katanya sambil menyerahkan
salah satu earphonenya
“Ha?”
“Biar tidak berisik”
Aku
mengambilnya dan memasang pada telinga ku. Banda Neira Sampai Jadi Debu lagu yang
sedang diputar olehnya, lagu yang selalu membuat ku merinding mendengarkannya
tentang cinta yang sakral. Aku menatapnya heran, apa dia juga suka lagu ini,
namun dia hanya diam setelah menyerahkan sebelah earphonya dan melanjutkan
memejamkan matanya lagi.
****
Perjalanan yang
panjang, dengan hanya semua judul lagu Banda Neira yang berputar berulang kali,
gapapa aku suka dengan lagunya sehingga lebih baik aku mendengarkan lagu ini
saja daripada harus mendengarkan suara berisik teman-teman.
Meninggalkan
Pulau Bali, Sebentar lagi akan menyebrang ke Pelabuhan. Pelabuhan tempat
berlabuh dan tempat meninggalkan, tempat pertemuan dan tempat perpisahan,
tempat untuk menjadi penyebab tersenyum dan menangis. Pada kapal yang membawa
ku kembali meninggalkan Bali, dan meninggalkan segala peristiwa yang terjadi
selama tiga hari di pulai Dewata itu.
Dengan
angin laut yang menyejukkan aku berdiri di pembatas kapal, menatap laut biru
yang indah. Dengan mentari yang memeluknya dari kejauhan, memperlihatkan
ombak-ombak kecil akibat hembusan angin damai sekali rasanya.
“Aku selalu menjumpaimu
menatap langit” Suara yang sudah tidak asing lagi bagi ku ikut berdiri di
sampingku
“Karena langit selalu damai”
“Seperti warna kuning?”
“Seperti lagu Banda Neira”
“Damai diciptakan oleh keinginan bukan keadaan”
“Maksutnya?”
“Sekacau apapun keadaanya kalau kita
memilih berdamai dengan kedaan dengan diri sendiri semua akan terlihat
baik-baik saja, begitu pula sebaliknya sebaik-baik apapun keadaan kalau kita
tidak bisa berdamai dengan keadaan, apalagi tidak bisa berdamai dengan diri
sendiri semua akan terasa kacau”
Tuuutttttt,
bunyi punjang yang meunjukkan bahwa kapal telah sampai dan sebentar lagi akan
berhenti, membuat semua orang bersiap-siap untuk turun begitu juga dengan aku,
tidak melanjutkan percakapan dengan kak Galen memilih untuk berkemas agar dapat
turun lebih dahulu.
Komentar
Posting Komentar
Terimakasih sudah membaca tulisan jelek saya, Salam sayang